Jumat, 26 Juni 2009

BRAHMAN CROSS GOES TO "JAGAL KAMPUNG"
Pada bulan-bulan terakhir ini sapi Brahman Cross atau yang lazim disebut BX mulai ramai membanjiri pasar sapi lokal di ex Karsidenan Banyumas. Para pelaku usaha pemotongan sapi (jagal) tidak usah repot-repot lagi pergi ke pasar-pasar sapi atau ke desa-desa untuk mencari "barang". Mereka cukup nunggu kiriman dari para supplier BX. Ada beberapa alasan kenapa para jagal dengan mudah menerima sapi BX. Antara lain adalah :
  • stock sapi bisa kontinyu
  • harga relatif lebih murah dibanding sapi lokal (Rp. 49.000, untuk BX dan Rp. 52.000 untuk PO)
  • harga ditentukan atas dasar timbangan karkas bukan jogrog
  • sapi BX yang dipotong "pasti" dalam kondisi gemuk dengan persentase karkas kurang lebih 50% ( pemotongan 1 ekor BX karkasnya sama dengan 2 ekor PO), artinya lebih efisien dalam tenaga
  • Jarang ditemui kasus jeroan (hati) rusak.

Kunggulan-keunggulan di atas tidak ditemui pada sapi lokal (PO). Imbasnya adalah sapi PO dinomerduakan. Kondisi ini memang sebuah dilema. Apabila pemenuhan daging sapi hanya bertumpu pada sapi lokal, suatu saat populasi sapi lokal akan habis sebab angka pemotongan lebih tinggi dibanding angka perkembangan populasi. Akan tetapi, apabila pemenuhan daging sapi lebih banyak dipenuhi dari sapi import (BX) maka nasib para peternak di daerah (yang pada umumnya memelihara sapi PO) akan terancam karena harga sapi lokal jatuh. Sementara kebutuhan daging sapi harus tetap terpenuhi demi terciptanya generasi penerus bangsa yang cerdas.

Ada sebuah cerita, sebut saja Pak Amin (bukan nama sebenarnya), dia mempunyai sapi PO jantan dua ekor yang dia beli dari pasar pada awal bulan Februari 2009 dengan harga 6 juta per ekornya. Dia membeli sapi tersebut dengan maksud sebagai tabungan untuk persiapan biaya anak sulungnya masuk bangku kuliah dan anak ragilnya yang akan dikhitan. Setelah dipelihara (digemukan) selama kurang lebih 4 bulan dia bermaksud menjual sapi tersebut, kebetulan anaknya sudah mendaftar kuliah di sebuah perguruan tinggi dan harus memepersiapkan dana untuk keperluan itu. Kondisi sapinya sekarang jauh lebih gemuk dibanding ketika beli. Sapi-sapi tersebut dibawanya ke pasar dan dia menawarkan dengan harga 7 juta per ekor. Tetapi sapi tersebut tidak laku-laku karena calon pembeli cuma menawar dengan harga maksimal 6 juta per ekor. Hari itu dia pulang dengan tengan hampa. Pada hari pasaran berikutnya dibawanya lagi sapi-sapi tersebut ke pasar yang berbeda, tetapi kejadiannya sama dengan kemarin. Sapi-sapi tersebut akhirnya dibawa pulang lagi. Untuk biaya transportasi pulang pergi ke pasar dia menghabiskan uang Rp. 400.000. Untung tidak bisa diraih malah rugi yang dia alami.

Cerita diatas mungkin hanya sebagian kecil contoh kasus yang terjadi. Masih banyak Pak Amin-Pak Amin lainnya yang mengalami nasib sama dengan kisah yang berbeda. Hikmah yang bisa diambil dari cerita tersebut adalah bahwa peternak kecil jangan sampai menjadi korban dari sebuah sistem atau kebijakan yang kurang pas. Oleh karena itu diperlukan sebuah langkah yang bijak, konkret dan sungguh-sungguh dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Bagi para pembaca yang mempunyai pemikiran-pemikiran, ide atau komentar yang cerdas (tentunya dengan tidak mengabaikan faktor true, believe dan justify) bisa dikirim ke admin blog ini. Untuk komentar langsung ditulis di kolom komentar di bawah tulisan ini dan untuk pemikiran-pemikiran atau ide yang memerlukan space yang banyak bisa di kirim lewat e-mail ke alamat bayumurt2@yahoo.com untuk selanjutnya bisa di upload di blog ini. Demi keberhasilan pembangunan peternakan di Indonesia, kami sangat mengharap masukan-masukan tersebut. Jayalah peternakan Indonesia. Terimakasih